Sunday, February 21, 2010

The Story of my best friend called coffee

Kopi adalah teman sejatiku. Tanpanya, hari hariku akan berasa lesu tak beragirah, otakku serasa lumpuh tak mampu berfikir, dan perasaanku hampa tak berwarna... Hahaha, ini benar adanya.
Begini kisah awalnya. Tammat SD Negeri 1 Balige, kota kecil tak jauh dari Begia tahun 1979, aku mendapat ‘scholarship’ untuk melanjutkan pendidikan SMP di Tarutung, yang di dunia Internasional dikenal dengan Toronto... Yang mensponsori beasiswaku ini adalah Namboruku (saudara perempuan bapakku), istri dari seorang pendeta, Ephorus gereja HKBP, DS. GHM. Siahaan. Nah,tugas utamaku setiap pagi adalah menyediakan satu gelas besar kopi panas buat Amangboru (Paman), diletakkan dimeja kecil persis didekat pintu kamar beliau. Jadi, setiap beliau bangun, itu kopi sudah menunggu dengan setia. Nah, disinilah awal perkenalanku dengan kopi. Awalnya Cuma cicip cicip, lama lama, hanya kira kira 2 minggu setelahnya, aku sudah hafal jumlah kopi, gula dan air yang dibutuhkan untuk membuatnya enak! Dan yang paling penting, dari proses cicip memcicip ini muncullah ide kreatif, ‘masak’cuma si Amangboru yang minum kopi pagi pagi, akupun perlu jugalah... Maka kubuatkanlah juga segelas untukku, tentu saja Namboru gak boleh tahu...
Kebiasaan ini berlanjut hingga ke SMA. masih dalam program scholarship si Namboru. Namun ketika aku kuliah, ternyata segelas kopi setiap pagi saja tidak cukup, perlu malam hari juga. Pasalnya, aku harus belajar keras hingga larut malam, dan yang bisa mengganjal mata ini untuk tidak menutup diri, ya kopi tadi, yang lama lama makin kental dan makin enak dan makin banyak, 2 gelas tiap malam. Kalau menjelang ujian bisa 3 gelaslah itu...
Belajar keras, kedengarangnya mantabz sekali ya... Tapi sebenarnya, setelah kuliah satu satu semester di Sastra Inggris USU dengan hasil IP yang pas pasan, aku malu pada teman2ku yang sudah cas cis cus, katanya dari SD sudah kursus di LIA lah, di Cambridgelah dll, smentara aku hanya bermodalkan “Yes No dan I love you”. Aku malu ketika ditanyain dosen, bukan hanya bagaimana jawabannya yang membuatku bingung, pertanyaannyapun aku gak ngerti, alamak!
Begitulah ceritanya sehingga sampai hari ini, hubunganku dengan kopi sudah tak terpisahkan oleh siapappun, kecuali oleh si maut... Hubungan ini sudah berlangsung selama 31 tahun.Pernah kucoba untuk berhenti meminumnya, berhenti membelinya, berhenti memikirkannya, dan ternyata dunia ikut berhenti! Oh no, kata lidahku ke pikiranku, mari kita lanjutkan... Maka, 3 gelas kopi (gelas besar, yang kecil tidak maasuk hitungan) merupakan jadwal pertemuan yang indah setiap pagi, siang dan menjelang tidur malamku. Thanks cofee, you’ve made my life colourful!

2 comments:

museumsribaduga said...

I like your writing and wish you will write more critically than this. I'm so sorry.I have my own motto.Here it is Smart Museum Smart people Smart Nation

museumsribaduga said...

I like it